Rabu, 04 September 2013

Perekonomian Indonesia Tahun 1800-1811

Diposting oleh Unknown di 21.18

 Latar Belakang
Menjelang abad ke-18, VOC mengalami kebangkrutan yang ditandai dengan memburuknya kondisi keuangan VOC dan menumpuknya utang-utang VOC. Korupsi merupakan sebab utama kebangkrutan itu. Hal itu diperparah oleh hutang peperangan VOC dengan rakyat Indonesia dan Inggris dalam memperebutkan kekuasaan di bidang perdagangan yang semakin menumpuk.

Sebab lainnya adalah kemerosotan moral di antara penguasa akibat sistem monopoli perdagangan. Keserakahan VOC membuat penguasa setempat tidak sungguh-sungguh membantu VOC dalam memonopoli perdagangan. Akibatnya, hasil panen rempah-rempah yang masuk ke VOC jauh dari jumlah yang diharapkan.
Hal utama lainnya adalah ketidakcakapan para pegawai VOC dalam mengendalikan monopoli. Akibatnya verplichte leveranties (penyerahan wajib) dan Preanger Stelsel (Aturan Priangan) tidak berjalan semestinya. Kedua aturan itu tadinya dimaksudkan untuk mengisi kas VOC yang kosong. Verplichte leveranties mewajibkan tiap daerah mneyerahkan hasil bumi berupa lada, kayu, beras, kapas, nila, dan gula dengan harga yang ditentukan VOC.
Sedangkan Preanger-stelsel mewajibkan rakyat Priangan menanam kopi dan menyerahkan hasil panennya kepada VOC, juga dengan tarif yang ditentukan VOC. Sementara itu, perang antara Belanda dan Ingrris terjadi juga di Asia. Armada kapal EIC berturut-turut merebut kedudukan VOC di Persia, Hindustan, Sri Lanka, sampai Malaka.
Menyadari ancaman itu, Republik Bataaf mulai bertindak keras kepada VOC. Selain VOC tidak dapat diandalkan lagi dalam menghadang serangan Inggris, persoalan internal yang berarut-larut dalam tubuh VOC dan anggaran VOC yang menyedot uang Negara membuat pemerintah Republik Bataaf mencabut Hak Octrooi izin usaha VOC dan pada 31 Desember 1799 VOC pun dibubarkan. Sejak itu, Indonesia berada di bawah kekuasaan Republik Bataaf. Dengan berakhrinya VOC, maka berubah pula sistem perkeonomian yang dijalankan di Nusantara, saat itu pemerintahan Nusantara kembali dengan dipegang oleh Belanda, namun semenjak tahun 1806, ketika Raja Louis Napoleon diangkat menjadi raja Belanda, sehingga secara tidak langsung telah berada dibawah kekuasaan Prancis.

Semakin Merosotnya Perekonomian Penduduk Pribumi 1800-1811
Setelah dibubarkannya VOC pemerintahan Nusantara kembali dengan dipegang Republik Bataaf, lalu untuk mengisi pemerintahannya pada tahun 1800 dikirimlah Pieter Gerardus van Overstraten untuk mengawasi pemerintahan di Nusantara, namun baru satu tahun ia menjadi Gubernur Jenderal ia meninggal dunia dan setelah itu pada 1801 dikirimlah Johannes Siberg untuk sementara waktu menggantikan Overstraten, setelah Johannes Siberg pada tahun 1805 dikirimlah Albertus Hendricus Wiese namun tidak ada yang begitu menonjol dari sistem pemerintahan dan perekonomian yang dijalankan ketiga gubernur jendral ini. Di Eropa sedang terjadi krisis politik, yaitu adanya politik ekspansif  Napoleon Bonaparte terhadap Belanda. Raja Willem berhasil meloloskan diri ke Inggris dan mendapatkan jaminan akan dilindungi apabila seluruh wilayah Indonesia diserahkan kepada Inggris. Di pihak Perancis, dengan dikuasainya Belanda berarti semua jajahan berada di bawah tanggung jawab Perancis. Maka dari itu dikirimkanlah Marsekal Herman Willem Daendels ke Batavia tahun 1808 sebagai gubernur Jenderal dengan mengemban tugas pokok untuk mempertahankan pulau Jawa dari serangan Inggris.
Dibawah Daendels semua penyerahan masih tetap, penyerahan wajib dan semua pekerjaan adalah tetap pekerjaan wajib. Jadi pergaulan hidup masih tetap terikat secara adat. Oleh pembuatan jalan dan penanaman kopi itu, sifat tidak diperlemah tetapi malah diperkuat. Peraturan-peraturan Daendels itu memerlukan lebih banyak perhatian dan pengawasan oleh orang-orang Eropa di daerah-daerah pedalaman. Keadaan ini dan pemerintahan Daendels yang bekerja secara sentral agaknya menyebabkan pengaruh Eropa pada waktu itu menjadi tambah dalam dan makin merosotnya kedudukan para bupati.
Di Kesultanan Cirebon dan Banten, Daendels memperbesar pengaruh Eropa. Di Banten peraturan-peraturan Daendels lebih keras lagi dengan tujuan supaya dapat menuntut rodi untuk keperluan pekerjaan-pekerjaan militer, dan hal ini pulalah yang menyebabkan peperangan yang dilakukan Daendels terhadap Banten. Peperangan ini adalah permulaan dari rentetan peristiwa-peristiwa yang mengakibatkan dihapuskannya Kesultanan Banten.
Pemerintahan Daendels dapat dikatakan bahwa ia tidak mengganggu struktur ekonomi pergaulan hidup yang tradisional, melainkan mengaturnya dan bahwa pengaruh barat dibawah pemerintahannya telah mulai menyampingkan para bupati. Daendels adalah seorang pemuja (Bewonderaar) Napoleon dengan pendapatnya mengenai pemerintahan sentral dan kuat serta tentang administrasi negara. Di Jawa Daendels menjelmakan sebagian dari pada pendapat tersebut.
Tugas utama Daendels adalah pembangunan pertahanan Nusantara terhadap Inggris. Disamping itu, ketika menjalankan tugasnya, Daendels juga dihadapkan pada persoalan ekonomi yang tidak mendukung kebijakan-kebijakannya (khas pemerintahan Hindia-Belanda yang buruk), serta persoalan sosial-politik yang dianggap dapat menghambat rencana-rencananya. Inilah gambaran kondisi mendesak yang harus dijalankan terlebih diatasi oleh Gubernur Jenderal ini. Dengan demikian jelaslah bahwa tugas utama Daendels adalah mempertahankan Nusantara dari ancaman serangan Inggris.
Daendels menjalankan pemerintahannya dengan memberantas sistem feodal yang sangat diperkuat oleh VOC. Untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan, serta hak-hak bupati, mulai dibatasi terutama yang menyangkut penguasaan tanah dan pemakaian tenaga rakyat. Baik wajib tanam dan wajib kerja akan dihapuskannya. Hal ini tidak akan mengurangi pemerasan oleh penguasa tetapi juga lebih selaras dengan prinsip kebebasan berdagang. Kondisi pada waktu itu menjadi hambatan pokok bagi pelaksanaan ide-ide bagus tersebut.
Keadaan yang masih berlaku zaman VOC adalah bahwa para bupati dan penguasa daerah lainya masih memegang peranan dalam perdagangan. Sebagai perantara mereka memperoleh keuntungan, antara lain berupa prosenan kultur, ialah presentase tertentu dari harga tafsiran penyerahan wajib dan kontingen yang dipungut dari rakyat. Sistem itu membawa akibat bahwa pasaran bebas tidak berkembang dan tidak muncul suatu golongan pedagang, suatu unsur sosial yang lazim berperan penting dalam proses liberalisasi masyarakat feodal atau tertutup.
Gubernur Jendral Daendels mengambil tindakan-tindakan yang tegas, ia memberikan gaji yang tetap kepada para pegawai, melarang mereka menerima pemberian-pemberian dan melakukan perdagangan. Pada waktu itu perdagangan oleh para pegawai belum dapat dilarang dengan mutlak, karena belum ada golongan pedagang yang sesungguhnya. Dengan tindakan Daendels ini, maka korps pegawai warisan dari kompeni kuno mendapat sifat-sifat korps pegawai dalam arti modern. Dasar untuk suatu pemerintahan yang dapat melakukan tugasnya tanpa terpaksa harus selalu memikirkan kepntingannya sendiri, baru diletakkan pada waktu itu. Dengan pemberian gaji yang tetap, maka barulah korps pegawai mempunyai jiwa baru. Proses modernisasi dari abad ke-19 itu dimulai leh Daendels dengan memodernisasi lapisan atas orang-orang Eropa.
Pengiring-pengiring bupati dikurangi. Semua kepala, juga kepala desa di kabupaten-kabupaten, selanjutnya akan diangkat oleh pemerintah. Para residen harus melindungi penduduk dari penganiyayaan-penganiyayaan. Ia memberikan jaminan, bahwa penduduk desa yang menebang pohon-pohon akan menerima upah penebangannya. Daendels menghapuskan penyerahan wajib benang-benang kapas dan nila di pantai timur barat. Dalam tahun 1808 ia melarang menyewakan desa, tetapi ia mengecualikan desa-desa, yang mengusahakan penggilingan gula, pembuatan garam dan sarang-sarang burung. Semua itu dimaksudkan untuk mengurangi beban rakyat. Tetapi, disamping itu ada pula beban-beban yang ditambahkan. Penanaman wajib dari kopi, yang diselenggarakan di Jawa Tengah dan Jawa Timur, diperluas oleh Daendels.
Daendels, yang memiliki tugas mempertahankan Pulau Jawa terhadap serangan Inggris, segera mengadakan perbaikan-perbaikan terutama dalam bidang kemiliteran, antara lain menambah tentara dan sukarelawan-sukarelawan pribumi, mengadakan perbaikan-perbaikan terutama dalam bidang kemilitera, antara lain dengan menambah tentara dan sukarelawan-sukarelawan pribumi, mendirikan pabrik senjata di Surabaya dan sekolah perwira di Semarang serta pabrik cor besi meriam betawi.
Di Jawa perlu dibangun, antara lain pembuatan jalan raya yang menghubungkan daerah-daerah di Jawa dari Anyer sampai Panarukan, kemudian dikenal sebagai Jalan Raya Pos (Grote Posweg). Untuk keperluan pembangunan raksasa ini dibutuhkan tenaga rakyat, maka itu wajib kerja (verplichte dienstern) dipertahankan. Di samping itu wajib penyerahan juga masih berlaku, sehingga pada masa pemerintahan Daendels sebenarnya sistem tradisional masih berjalan terus. Dengan dibangunnya Jalan Raya Pos diletakkannya prasarana yang sangat penting bagi perkembangan ekonomi, sosial dan politik Jawa, tidak hanya dalam bidang transportasi  tetapi juga dalam bidang administrasi pemerintahan dan mobilitas sosial.
Yang perlu disimpulkan disini, demi merealisasikan program-programnya di atas Daendels menggunakan cara-cara yang lebih menunjukkan sistem tradisional (konvensional). Tentu hal ini faktor kondisi/relitas yang  mendesak Gubernur Jenderal ini. Selain itu, tidak sedikit biaya operasional yang dibutuhkan untuk mendukung kerja Daendels. Sehingga menuntut Daendels untuk mengambil langkah-langkah berikutnya. Langkah Daendels di bidang ekonomi semakin menunjukkan cara-cara yang ditempuhnya layaknya cara-cara konvensional, yakni eksploitasi SDA & SDM.
Ketika di Yogyakarta timbul perselisihan perihal pergantian raja, Daendels pun datang kesana dengan tentaranya dalam jumlah besar. Kedatangan Daendels dengan ekspedisi militernya ini mengakibatkan Sultan Hamengkubuwono II dipaksa turun dari tahtanya dan digantikan oleh putra mahkotanya menjadi raja. Peristiwa ini memberikan kesempatan kepada Daendels untuk memaksa Yogyakarta dan Surakarta menerima perjanjian baru pada tahun 1811 yang menyebabkan kedua negara itu kehilangan sebagian wilayahnya.
Untuk biaya pertahanan pulau Jawa, penaikan gaji pegawai-pegawai biaya peperangan raja-raja di Jawa, Mmebangun pabrik senjata di Semarang dan Surabaya, Membangun pangkalan armada di Anyer dan Ujung Kulon, Membangun benteng-benteng pertahanan dan membangun jalan raya Anyer-Panarukan. Daendels menerapkan sistem kerja paksa (rodi). Selain menerpakan kerja paksa Daendels juga terpaksa mencari jalan pemerasan dengan menjual tanah-tanah partikulir kepada orang Tionghoa, pinjaman paksaan, penyewaan rumah penduduk dan monopoli beras, menyita rumah-rumah gadai balai lelang dan balai peninggalan harta, mengadakan penyerahan bumi (contingenten), memaksa rakyat bumi menjual hasil buminya kepada pemerintah Belanda dengan harga murah (verplicjte leverantie), melaksanakan (Preanger Stelsel) yaitu kewajiban yang dibebankan kepada rakyat Priangan untuk menanam Kopi.
Pengaruh pemerintah kerajaan yang diterapkan oleh Daendels sangat berbekas dibanding penggantinya, Gubernur Jenderal Janssens yang lemah. Langkah-langkah kebijakan Daendels yang memeras dan menindas rakyat menimbulkan:
a.       kebencian yang mendalam baik dari kalangan penguasa daerah maupun rakyat,
b.      munculnya tanah-tanah partikelir yang dikelola oleh pengusaha swasta,
c.       pertentangan/perlawanan penguasa maupun rakyat,
d.      kemiskinan dan penderitaan yang berkepanjangan.




Kesimpulan

Terlihat jelas bahwa pada masa pemerintahan Daendels perekonomian di Nusantara mengalami kesengsaraan yang teramat dalam khususnya di pulau Jawa, dimana orang-orang pribumi dipaksa bekerja contohnya untuk membangun jalan raya Anyer-Panarukan, juga Benteng-benteng pertahanan Belanda. Daendels juga menerapkan (verplicjte leverantie) yaitu memkasa pribumi menjual hasil buminya kepada pemerintahan Belanda dengan harga murah, ini secara tidak langsung Daendels telah memonopoli perdagangan hasil bumi pribumi, dan juga melakukan pemerasan dengan menjual tanah-tanah partikulir kepada pengusaha Tionghoa. Jadi, tidak begitu banyak perbedaan sistem perekonomian yang dianut oleh VOC dengan yang dijalankan oleh Daendels karena keduanya sama-sama menyengsarakan penduduk pribumi, namun pada masa Daendels penderitaan penduduk pribumi khususnya pulau Jawa semakin terasa karena adanya kerja paksa untuk membangun Jalan Anyer-Panarukan yang memakan banyak korban jiwa.


DAFTAR PUSTAKA

Marwati Joened Poesponegoro.1984.Sejarah Nasional Indonesia jilid IV. Jakarta:Balai Pustaka, hal 3-4
Merle Calvin Ricklefs. 2008. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: Serambi.
Firdaus.18 Maret 2013.22:35.Masuknya Kolonialisme dan Imperialisme di Indonesia, kellyfajri.wordpress.com.


0 komentar:

Posting Komentar

Rabu, 04 September 2013

Perekonomian Indonesia Tahun 1800-1811

Diposting oleh Unknown di 21.18

 Latar Belakang
Menjelang abad ke-18, VOC mengalami kebangkrutan yang ditandai dengan memburuknya kondisi keuangan VOC dan menumpuknya utang-utang VOC. Korupsi merupakan sebab utama kebangkrutan itu. Hal itu diperparah oleh hutang peperangan VOC dengan rakyat Indonesia dan Inggris dalam memperebutkan kekuasaan di bidang perdagangan yang semakin menumpuk.

Sebab lainnya adalah kemerosotan moral di antara penguasa akibat sistem monopoli perdagangan. Keserakahan VOC membuat penguasa setempat tidak sungguh-sungguh membantu VOC dalam memonopoli perdagangan. Akibatnya, hasil panen rempah-rempah yang masuk ke VOC jauh dari jumlah yang diharapkan.
Hal utama lainnya adalah ketidakcakapan para pegawai VOC dalam mengendalikan monopoli. Akibatnya verplichte leveranties (penyerahan wajib) dan Preanger Stelsel (Aturan Priangan) tidak berjalan semestinya. Kedua aturan itu tadinya dimaksudkan untuk mengisi kas VOC yang kosong. Verplichte leveranties mewajibkan tiap daerah mneyerahkan hasil bumi berupa lada, kayu, beras, kapas, nila, dan gula dengan harga yang ditentukan VOC.
Sedangkan Preanger-stelsel mewajibkan rakyat Priangan menanam kopi dan menyerahkan hasil panennya kepada VOC, juga dengan tarif yang ditentukan VOC. Sementara itu, perang antara Belanda dan Ingrris terjadi juga di Asia. Armada kapal EIC berturut-turut merebut kedudukan VOC di Persia, Hindustan, Sri Lanka, sampai Malaka.
Menyadari ancaman itu, Republik Bataaf mulai bertindak keras kepada VOC. Selain VOC tidak dapat diandalkan lagi dalam menghadang serangan Inggris, persoalan internal yang berarut-larut dalam tubuh VOC dan anggaran VOC yang menyedot uang Negara membuat pemerintah Republik Bataaf mencabut Hak Octrooi izin usaha VOC dan pada 31 Desember 1799 VOC pun dibubarkan. Sejak itu, Indonesia berada di bawah kekuasaan Republik Bataaf. Dengan berakhrinya VOC, maka berubah pula sistem perkeonomian yang dijalankan di Nusantara, saat itu pemerintahan Nusantara kembali dengan dipegang oleh Belanda, namun semenjak tahun 1806, ketika Raja Louis Napoleon diangkat menjadi raja Belanda, sehingga secara tidak langsung telah berada dibawah kekuasaan Prancis.

Semakin Merosotnya Perekonomian Penduduk Pribumi 1800-1811
Setelah dibubarkannya VOC pemerintahan Nusantara kembali dengan dipegang Republik Bataaf, lalu untuk mengisi pemerintahannya pada tahun 1800 dikirimlah Pieter Gerardus van Overstraten untuk mengawasi pemerintahan di Nusantara, namun baru satu tahun ia menjadi Gubernur Jenderal ia meninggal dunia dan setelah itu pada 1801 dikirimlah Johannes Siberg untuk sementara waktu menggantikan Overstraten, setelah Johannes Siberg pada tahun 1805 dikirimlah Albertus Hendricus Wiese namun tidak ada yang begitu menonjol dari sistem pemerintahan dan perekonomian yang dijalankan ketiga gubernur jendral ini. Di Eropa sedang terjadi krisis politik, yaitu adanya politik ekspansif  Napoleon Bonaparte terhadap Belanda. Raja Willem berhasil meloloskan diri ke Inggris dan mendapatkan jaminan akan dilindungi apabila seluruh wilayah Indonesia diserahkan kepada Inggris. Di pihak Perancis, dengan dikuasainya Belanda berarti semua jajahan berada di bawah tanggung jawab Perancis. Maka dari itu dikirimkanlah Marsekal Herman Willem Daendels ke Batavia tahun 1808 sebagai gubernur Jenderal dengan mengemban tugas pokok untuk mempertahankan pulau Jawa dari serangan Inggris.
Dibawah Daendels semua penyerahan masih tetap, penyerahan wajib dan semua pekerjaan adalah tetap pekerjaan wajib. Jadi pergaulan hidup masih tetap terikat secara adat. Oleh pembuatan jalan dan penanaman kopi itu, sifat tidak diperlemah tetapi malah diperkuat. Peraturan-peraturan Daendels itu memerlukan lebih banyak perhatian dan pengawasan oleh orang-orang Eropa di daerah-daerah pedalaman. Keadaan ini dan pemerintahan Daendels yang bekerja secara sentral agaknya menyebabkan pengaruh Eropa pada waktu itu menjadi tambah dalam dan makin merosotnya kedudukan para bupati.
Di Kesultanan Cirebon dan Banten, Daendels memperbesar pengaruh Eropa. Di Banten peraturan-peraturan Daendels lebih keras lagi dengan tujuan supaya dapat menuntut rodi untuk keperluan pekerjaan-pekerjaan militer, dan hal ini pulalah yang menyebabkan peperangan yang dilakukan Daendels terhadap Banten. Peperangan ini adalah permulaan dari rentetan peristiwa-peristiwa yang mengakibatkan dihapuskannya Kesultanan Banten.
Pemerintahan Daendels dapat dikatakan bahwa ia tidak mengganggu struktur ekonomi pergaulan hidup yang tradisional, melainkan mengaturnya dan bahwa pengaruh barat dibawah pemerintahannya telah mulai menyampingkan para bupati. Daendels adalah seorang pemuja (Bewonderaar) Napoleon dengan pendapatnya mengenai pemerintahan sentral dan kuat serta tentang administrasi negara. Di Jawa Daendels menjelmakan sebagian dari pada pendapat tersebut.
Tugas utama Daendels adalah pembangunan pertahanan Nusantara terhadap Inggris. Disamping itu, ketika menjalankan tugasnya, Daendels juga dihadapkan pada persoalan ekonomi yang tidak mendukung kebijakan-kebijakannya (khas pemerintahan Hindia-Belanda yang buruk), serta persoalan sosial-politik yang dianggap dapat menghambat rencana-rencananya. Inilah gambaran kondisi mendesak yang harus dijalankan terlebih diatasi oleh Gubernur Jenderal ini. Dengan demikian jelaslah bahwa tugas utama Daendels adalah mempertahankan Nusantara dari ancaman serangan Inggris.
Daendels menjalankan pemerintahannya dengan memberantas sistem feodal yang sangat diperkuat oleh VOC. Untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan, serta hak-hak bupati, mulai dibatasi terutama yang menyangkut penguasaan tanah dan pemakaian tenaga rakyat. Baik wajib tanam dan wajib kerja akan dihapuskannya. Hal ini tidak akan mengurangi pemerasan oleh penguasa tetapi juga lebih selaras dengan prinsip kebebasan berdagang. Kondisi pada waktu itu menjadi hambatan pokok bagi pelaksanaan ide-ide bagus tersebut.
Keadaan yang masih berlaku zaman VOC adalah bahwa para bupati dan penguasa daerah lainya masih memegang peranan dalam perdagangan. Sebagai perantara mereka memperoleh keuntungan, antara lain berupa prosenan kultur, ialah presentase tertentu dari harga tafsiran penyerahan wajib dan kontingen yang dipungut dari rakyat. Sistem itu membawa akibat bahwa pasaran bebas tidak berkembang dan tidak muncul suatu golongan pedagang, suatu unsur sosial yang lazim berperan penting dalam proses liberalisasi masyarakat feodal atau tertutup.
Gubernur Jendral Daendels mengambil tindakan-tindakan yang tegas, ia memberikan gaji yang tetap kepada para pegawai, melarang mereka menerima pemberian-pemberian dan melakukan perdagangan. Pada waktu itu perdagangan oleh para pegawai belum dapat dilarang dengan mutlak, karena belum ada golongan pedagang yang sesungguhnya. Dengan tindakan Daendels ini, maka korps pegawai warisan dari kompeni kuno mendapat sifat-sifat korps pegawai dalam arti modern. Dasar untuk suatu pemerintahan yang dapat melakukan tugasnya tanpa terpaksa harus selalu memikirkan kepntingannya sendiri, baru diletakkan pada waktu itu. Dengan pemberian gaji yang tetap, maka barulah korps pegawai mempunyai jiwa baru. Proses modernisasi dari abad ke-19 itu dimulai leh Daendels dengan memodernisasi lapisan atas orang-orang Eropa.
Pengiring-pengiring bupati dikurangi. Semua kepala, juga kepala desa di kabupaten-kabupaten, selanjutnya akan diangkat oleh pemerintah. Para residen harus melindungi penduduk dari penganiyayaan-penganiyayaan. Ia memberikan jaminan, bahwa penduduk desa yang menebang pohon-pohon akan menerima upah penebangannya. Daendels menghapuskan penyerahan wajib benang-benang kapas dan nila di pantai timur barat. Dalam tahun 1808 ia melarang menyewakan desa, tetapi ia mengecualikan desa-desa, yang mengusahakan penggilingan gula, pembuatan garam dan sarang-sarang burung. Semua itu dimaksudkan untuk mengurangi beban rakyat. Tetapi, disamping itu ada pula beban-beban yang ditambahkan. Penanaman wajib dari kopi, yang diselenggarakan di Jawa Tengah dan Jawa Timur, diperluas oleh Daendels.
Daendels, yang memiliki tugas mempertahankan Pulau Jawa terhadap serangan Inggris, segera mengadakan perbaikan-perbaikan terutama dalam bidang kemiliteran, antara lain menambah tentara dan sukarelawan-sukarelawan pribumi, mengadakan perbaikan-perbaikan terutama dalam bidang kemilitera, antara lain dengan menambah tentara dan sukarelawan-sukarelawan pribumi, mendirikan pabrik senjata di Surabaya dan sekolah perwira di Semarang serta pabrik cor besi meriam betawi.
Di Jawa perlu dibangun, antara lain pembuatan jalan raya yang menghubungkan daerah-daerah di Jawa dari Anyer sampai Panarukan, kemudian dikenal sebagai Jalan Raya Pos (Grote Posweg). Untuk keperluan pembangunan raksasa ini dibutuhkan tenaga rakyat, maka itu wajib kerja (verplichte dienstern) dipertahankan. Di samping itu wajib penyerahan juga masih berlaku, sehingga pada masa pemerintahan Daendels sebenarnya sistem tradisional masih berjalan terus. Dengan dibangunnya Jalan Raya Pos diletakkannya prasarana yang sangat penting bagi perkembangan ekonomi, sosial dan politik Jawa, tidak hanya dalam bidang transportasi  tetapi juga dalam bidang administrasi pemerintahan dan mobilitas sosial.
Yang perlu disimpulkan disini, demi merealisasikan program-programnya di atas Daendels menggunakan cara-cara yang lebih menunjukkan sistem tradisional (konvensional). Tentu hal ini faktor kondisi/relitas yang  mendesak Gubernur Jenderal ini. Selain itu, tidak sedikit biaya operasional yang dibutuhkan untuk mendukung kerja Daendels. Sehingga menuntut Daendels untuk mengambil langkah-langkah berikutnya. Langkah Daendels di bidang ekonomi semakin menunjukkan cara-cara yang ditempuhnya layaknya cara-cara konvensional, yakni eksploitasi SDA & SDM.
Ketika di Yogyakarta timbul perselisihan perihal pergantian raja, Daendels pun datang kesana dengan tentaranya dalam jumlah besar. Kedatangan Daendels dengan ekspedisi militernya ini mengakibatkan Sultan Hamengkubuwono II dipaksa turun dari tahtanya dan digantikan oleh putra mahkotanya menjadi raja. Peristiwa ini memberikan kesempatan kepada Daendels untuk memaksa Yogyakarta dan Surakarta menerima perjanjian baru pada tahun 1811 yang menyebabkan kedua negara itu kehilangan sebagian wilayahnya.
Untuk biaya pertahanan pulau Jawa, penaikan gaji pegawai-pegawai biaya peperangan raja-raja di Jawa, Mmebangun pabrik senjata di Semarang dan Surabaya, Membangun pangkalan armada di Anyer dan Ujung Kulon, Membangun benteng-benteng pertahanan dan membangun jalan raya Anyer-Panarukan. Daendels menerapkan sistem kerja paksa (rodi). Selain menerpakan kerja paksa Daendels juga terpaksa mencari jalan pemerasan dengan menjual tanah-tanah partikulir kepada orang Tionghoa, pinjaman paksaan, penyewaan rumah penduduk dan monopoli beras, menyita rumah-rumah gadai balai lelang dan balai peninggalan harta, mengadakan penyerahan bumi (contingenten), memaksa rakyat bumi menjual hasil buminya kepada pemerintah Belanda dengan harga murah (verplicjte leverantie), melaksanakan (Preanger Stelsel) yaitu kewajiban yang dibebankan kepada rakyat Priangan untuk menanam Kopi.
Pengaruh pemerintah kerajaan yang diterapkan oleh Daendels sangat berbekas dibanding penggantinya, Gubernur Jenderal Janssens yang lemah. Langkah-langkah kebijakan Daendels yang memeras dan menindas rakyat menimbulkan:
a.       kebencian yang mendalam baik dari kalangan penguasa daerah maupun rakyat,
b.      munculnya tanah-tanah partikelir yang dikelola oleh pengusaha swasta,
c.       pertentangan/perlawanan penguasa maupun rakyat,
d.      kemiskinan dan penderitaan yang berkepanjangan.




Kesimpulan

Terlihat jelas bahwa pada masa pemerintahan Daendels perekonomian di Nusantara mengalami kesengsaraan yang teramat dalam khususnya di pulau Jawa, dimana orang-orang pribumi dipaksa bekerja contohnya untuk membangun jalan raya Anyer-Panarukan, juga Benteng-benteng pertahanan Belanda. Daendels juga menerapkan (verplicjte leverantie) yaitu memkasa pribumi menjual hasil buminya kepada pemerintahan Belanda dengan harga murah, ini secara tidak langsung Daendels telah memonopoli perdagangan hasil bumi pribumi, dan juga melakukan pemerasan dengan menjual tanah-tanah partikulir kepada pengusaha Tionghoa. Jadi, tidak begitu banyak perbedaan sistem perekonomian yang dianut oleh VOC dengan yang dijalankan oleh Daendels karena keduanya sama-sama menyengsarakan penduduk pribumi, namun pada masa Daendels penderitaan penduduk pribumi khususnya pulau Jawa semakin terasa karena adanya kerja paksa untuk membangun Jalan Anyer-Panarukan yang memakan banyak korban jiwa.


DAFTAR PUSTAKA

Marwati Joened Poesponegoro.1984.Sejarah Nasional Indonesia jilid IV. Jakarta:Balai Pustaka, hal 3-4
Merle Calvin Ricklefs. 2008. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: Serambi.
Firdaus.18 Maret 2013.22:35.Masuknya Kolonialisme dan Imperialisme di Indonesia, kellyfajri.wordpress.com.


0 komentar on "Perekonomian Indonesia Tahun 1800-1811"

Posting Komentar

 

Little World Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea