Latar Belakang
Menjelang abad ke-18,
VOC mengalami kebangkrutan yang ditandai dengan memburuknya kondisi keuangan
VOC dan menumpuknya utang-utang VOC. Korupsi merupakan sebab utama kebangkrutan
itu. Hal itu diperparah oleh hutang peperangan VOC dengan rakyat Indonesia dan
Inggris dalam memperebutkan kekuasaan di bidang perdagangan yang semakin
menumpuk.
Sebab lainnya adalah
kemerosotan moral di antara penguasa akibat sistem monopoli perdagangan.
Keserakahan VOC membuat penguasa setempat tidak sungguh-sungguh membantu VOC
dalam memonopoli perdagangan. Akibatnya, hasil panen rempah-rempah yang masuk
ke VOC jauh dari jumlah yang diharapkan.
Hal utama lainnya
adalah ketidakcakapan para pegawai VOC dalam mengendalikan monopoli. Akibatnya verplichte
leveranties (penyerahan wajib) dan Preanger Stelsel (Aturan
Priangan) tidak berjalan semestinya. Kedua aturan itu tadinya dimaksudkan untuk
mengisi kas VOC yang kosong. Verplichte leveranties mewajibkan tiap
daerah mneyerahkan hasil bumi berupa lada, kayu, beras, kapas, nila, dan gula
dengan harga yang ditentukan VOC.
Sedangkan Preanger-stelsel
mewajibkan rakyat Priangan menanam kopi dan menyerahkan hasil panennya
kepada VOC, juga dengan tarif yang ditentukan VOC. Sementara itu, perang antara
Belanda dan Ingrris terjadi juga di Asia. Armada kapal EIC berturut-turut
merebut kedudukan VOC di Persia, Hindustan, Sri Lanka, sampai Malaka.
Menyadari ancaman itu,
Republik Bataaf mulai bertindak keras kepada VOC. Selain VOC tidak dapat
diandalkan lagi dalam menghadang serangan Inggris, persoalan internal yang
berarut-larut dalam tubuh VOC dan anggaran VOC yang menyedot uang Negara
membuat pemerintah Republik Bataaf mencabut Hak Octrooi izin usaha VOC dan pada
31 Desember 1799 VOC pun dibubarkan. Sejak itu, Indonesia berada di bawah
kekuasaan Republik Bataaf. Dengan
berakhrinya VOC, maka berubah pula sistem perkeonomian yang dijalankan di
Nusantara, saat itu pemerintahan Nusantara kembali dengan dipegang oleh
Belanda, namun semenjak tahun 1806, ketika Raja Louis Napoleon diangkat menjadi
raja Belanda, sehingga secara tidak langsung telah berada dibawah kekuasaan
Prancis.
Semakin
Merosotnya Perekonomian Penduduk Pribumi 1800-1811
Setelah dibubarkannya VOC pemerintahan
Nusantara kembali dengan dipegang Republik Bataaf, lalu untuk mengisi
pemerintahannya pada tahun 1800 dikirimlah Pieter Gerardus van Overstraten
untuk mengawasi pemerintahan di Nusantara, namun baru satu tahun ia menjadi
Gubernur Jenderal ia meninggal dunia dan setelah itu pada 1801 dikirimlah
Johannes Siberg untuk sementara waktu menggantikan Overstraten, setelah
Johannes Siberg pada tahun 1805 dikirimlah Albertus Hendricus Wiese namun tidak
ada yang begitu menonjol dari sistem pemerintahan dan perekonomian yang
dijalankan ketiga gubernur jendral ini. Di Eropa sedang terjadi krisis
politik, yaitu adanya politik ekspansif Napoleon Bonaparte terhadap
Belanda. Raja Willem berhasil meloloskan diri ke Inggris dan mendapatkan
jaminan akan dilindungi apabila seluruh wilayah Indonesia diserahkan kepada
Inggris. Di pihak Perancis, dengan dikuasainya Belanda berarti semua jajahan
berada di bawah tanggung jawab Perancis. Maka dari itu dikirimkanlah Marsekal
Herman Willem Daendels ke Batavia tahun 1808 sebagai gubernur Jenderal dengan
mengemban tugas pokok untuk mempertahankan pulau Jawa dari serangan Inggris.
Dibawah
Daendels semua penyerahan masih tetap, penyerahan wajib dan semua pekerjaan
adalah tetap pekerjaan wajib. Jadi pergaulan hidup masih tetap terikat secara
adat. Oleh pembuatan jalan dan penanaman kopi itu, sifat tidak diperlemah
tetapi malah diperkuat. Peraturan-peraturan Daendels itu memerlukan lebih
banyak perhatian dan pengawasan oleh orang-orang Eropa di daerah-daerah
pedalaman. Keadaan ini dan pemerintahan Daendels yang bekerja
secara sentral agaknya menyebabkan pengaruh Eropa pada waktu itu menjadi tambah
dalam dan makin merosotnya kedudukan para bupati.
Di
Kesultanan Cirebon dan Banten, Daendels memperbesar pengaruh Eropa. Di Banten
peraturan-peraturan Daendels lebih keras lagi dengan tujuan supaya dapat
menuntut rodi untuk keperluan pekerjaan-pekerjaan militer, dan hal ini
pulalah yang menyebabkan peperangan yang dilakukan Daendels terhadap Banten.
Peperangan ini adalah permulaan dari rentetan peristiwa-peristiwa yang
mengakibatkan dihapuskannya Kesultanan Banten.
Pemerintahan Daendels dapat
dikatakan bahwa ia tidak mengganggu struktur ekonomi pergaulan hidup yang
tradisional, melainkan mengaturnya dan bahwa pengaruh barat dibawah pemerintahannya
telah mulai menyampingkan para bupati. Daendels adalah seorang pemuja
(Bewonderaar) Napoleon dengan pendapatnya mengenai pemerintahan sentral dan
kuat serta tentang administrasi negara. Di Jawa Daendels menjelmakan sebagian
dari pada pendapat tersebut.
Tugas utama
Daendels adalah pembangunan pertahanan Nusantara terhadap Inggris. Disamping
itu, ketika menjalankan tugasnya, Daendels juga dihadapkan pada persoalan
ekonomi yang tidak mendukung kebijakan-kebijakannya (khas pemerintahan
Hindia-Belanda yang buruk), serta persoalan sosial-politik yang dianggap dapat
menghambat rencana-rencananya. Inilah gambaran kondisi mendesak yang harus
dijalankan terlebih diatasi oleh Gubernur Jenderal ini. Dengan demikian
jelaslah bahwa tugas utama Daendels adalah mempertahankan Nusantara dari
ancaman serangan Inggris.
Daendels menjalankan pemerintahannya dengan memberantas sistem feodal yang
sangat diperkuat oleh VOC. Untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan, serta
hak-hak bupati, mulai dibatasi terutama yang menyangkut penguasaan tanah dan
pemakaian tenaga rakyat. Baik wajib tanam dan wajib kerja akan dihapuskannya.
Hal ini tidak akan mengurangi pemerasan oleh penguasa tetapi juga lebih selaras
dengan prinsip kebebasan berdagang. Kondisi pada waktu itu menjadi hambatan
pokok bagi pelaksanaan ide-ide bagus tersebut.
Keadaan yang
masih berlaku zaman VOC adalah bahwa para bupati dan penguasa daerah lainya
masih memegang peranan dalam perdagangan. Sebagai perantara mereka memperoleh
keuntungan, antara lain berupa prosenan kultur, ialah presentase tertentu dari
harga tafsiran penyerahan wajib dan kontingen yang dipungut dari rakyat. Sistem
itu membawa akibat bahwa pasaran bebas tidak berkembang dan tidak muncul suatu
golongan pedagang, suatu unsur sosial yang lazim berperan penting dalam proses
liberalisasi masyarakat feodal atau tertutup.
Gubernur Jendral Daendels mengambil
tindakan-tindakan yang tegas, ia memberikan gaji yang tetap kepada para
pegawai, melarang mereka menerima pemberian-pemberian dan melakukan perdagangan.
Pada waktu itu perdagangan oleh para pegawai belum dapat dilarang dengan
mutlak, karena belum ada golongan pedagang yang sesungguhnya. Dengan tindakan
Daendels ini, maka korps pegawai warisan dari kompeni kuno mendapat sifat-sifat
korps pegawai dalam arti modern. Dasar untuk suatu pemerintahan yang dapat
melakukan tugasnya tanpa terpaksa harus selalu memikirkan kepntingannya
sendiri, baru diletakkan pada waktu itu. Dengan pemberian gaji yang tetap, maka
barulah korps pegawai mempunyai jiwa baru. Proses modernisasi dari abad ke-19
itu dimulai leh Daendels dengan memodernisasi lapisan atas orang-orang Eropa.
Pengiring-pengiring bupati
dikurangi. Semua kepala, juga kepala desa di kabupaten-kabupaten, selanjutnya
akan diangkat oleh pemerintah. Para residen harus melindungi penduduk dari
penganiyayaan-penganiyayaan. Ia
memberikan jaminan, bahwa penduduk desa yang menebang pohon-pohon akan menerima
upah penebangannya. Daendels menghapuskan penyerahan wajib benang-benang kapas
dan nila di pantai timur barat. Dalam tahun 1808 ia melarang menyewakan desa,
tetapi ia mengecualikan desa-desa, yang mengusahakan penggilingan gula,
pembuatan garam dan sarang-sarang burung. Semua itu dimaksudkan untuk
mengurangi beban rakyat. Tetapi, disamping itu ada pula beban-beban yang
ditambahkan. Penanaman wajib dari kopi, yang diselenggarakan di Jawa Tengah dan
Jawa Timur, diperluas oleh Daendels.
Daendels, yang memiliki tugas
mempertahankan Pulau Jawa terhadap serangan Inggris, segera mengadakan
perbaikan-perbaikan terutama dalam bidang kemiliteran, antara lain menambah
tentara dan sukarelawan-sukarelawan pribumi, mengadakan perbaikan-perbaikan
terutama dalam bidang kemilitera, antara lain dengan menambah tentara dan
sukarelawan-sukarelawan pribumi, mendirikan pabrik senjata di Surabaya dan
sekolah perwira di Semarang serta pabrik cor besi meriam betawi.
Di Jawa perlu dibangun, antara lain
pembuatan jalan raya yang menghubungkan daerah-daerah di Jawa dari Anyer sampai
Panarukan, kemudian dikenal sebagai Jalan Raya Pos (Grote Posweg). Untuk
keperluan pembangunan raksasa ini dibutuhkan tenaga rakyat, maka itu wajib
kerja (verplichte dienstern) dipertahankan. Di samping itu wajib penyerahan
juga masih berlaku, sehingga pada masa pemerintahan Daendels sebenarnya sistem
tradisional masih berjalan terus. Dengan dibangunnya Jalan Raya Pos
diletakkannya prasarana yang sangat penting bagi perkembangan ekonomi, sosial
dan politik Jawa, tidak hanya dalam bidang transportasi tetapi juga dalam
bidang administrasi pemerintahan dan mobilitas sosial.
Yang perlu
disimpulkan disini, demi merealisasikan program-programnya di atas Daendels
menggunakan cara-cara yang lebih menunjukkan sistem tradisional (konvensional).
Tentu hal ini faktor kondisi/relitas yang mendesak Gubernur Jenderal ini.
Selain itu, tidak sedikit biaya operasional yang dibutuhkan untuk mendukung
kerja Daendels. Sehingga menuntut Daendels untuk mengambil langkah-langkah
berikutnya. Langkah Daendels di bidang ekonomi semakin menunjukkan cara-cara
yang ditempuhnya layaknya cara-cara konvensional, yakni eksploitasi SDA &
SDM.
Ketika di Yogyakarta timbul
perselisihan perihal pergantian raja, Daendels pun datang kesana dengan
tentaranya dalam jumlah besar. Kedatangan Daendels dengan ekspedisi militernya
ini mengakibatkan Sultan Hamengkubuwono II dipaksa turun dari tahtanya dan
digantikan oleh putra mahkotanya menjadi raja. Peristiwa ini memberikan
kesempatan kepada Daendels untuk memaksa Yogyakarta dan Surakarta menerima
perjanjian baru pada tahun 1811 yang menyebabkan kedua negara itu kehilangan
sebagian wilayahnya.
Untuk biaya pertahanan pulau Jawa, penaikan
gaji pegawai-pegawai biaya peperangan raja-raja di Jawa, Mmebangun pabrik
senjata di Semarang dan Surabaya, Membangun pangkalan armada di Anyer dan Ujung
Kulon, Membangun benteng-benteng pertahanan dan membangun jalan raya
Anyer-Panarukan. Daendels menerapkan sistem kerja paksa (rodi). Selain menerpakan kerja paksa Daendels juga
terpaksa mencari jalan pemerasan dengan menjual tanah-tanah partikulir kepada
orang Tionghoa, pinjaman paksaan, penyewaan rumah penduduk dan monopoli beras,
menyita rumah-rumah gadai balai lelang dan balai peninggalan harta, mengadakan
penyerahan bumi (contingenten), memaksa rakyat bumi menjual hasil buminya
kepada pemerintah Belanda dengan harga murah (verplicjte leverantie),
melaksanakan (Preanger Stelsel) yaitu kewajiban yang dibebankan kepada rakyat
Priangan untuk menanam Kopi.
Pengaruh pemerintah kerajaan yang
diterapkan oleh Daendels sangat berbekas dibanding penggantinya, Gubernur
Jenderal Janssens yang lemah. Langkah-langkah kebijakan Daendels yang memeras
dan menindas rakyat menimbulkan:
a. kebencian
yang mendalam baik dari kalangan penguasa daerah maupun rakyat,
b.
munculnya tanah-tanah partikelir
yang dikelola oleh pengusaha swasta,
c.
pertentangan/perlawanan penguasa
maupun rakyat,
d. kemiskinan
dan penderitaan yang berkepanjangan.
Kesimpulan
Terlihat jelas bahwa pada masa pemerintahan
Daendels perekonomian di Nusantara mengalami kesengsaraan yang teramat dalam
khususnya di pulau Jawa, dimana orang-orang pribumi dipaksa bekerja contohnya
untuk membangun jalan raya Anyer-Panarukan, juga Benteng-benteng pertahanan
Belanda. Daendels juga menerapkan (verplicjte leverantie) yaitu memkasa pribumi
menjual hasil buminya kepada pemerintahan Belanda dengan harga murah, ini
secara tidak langsung Daendels telah memonopoli perdagangan hasil bumi pribumi,
dan juga melakukan pemerasan dengan menjual tanah-tanah partikulir kepada
pengusaha Tionghoa. Jadi, tidak begitu banyak perbedaan sistem perekonomian
yang dianut oleh VOC dengan yang dijalankan oleh Daendels karena keduanya
sama-sama menyengsarakan penduduk pribumi, namun pada masa Daendels penderitaan
penduduk pribumi khususnya pulau Jawa semakin terasa karena adanya kerja paksa
untuk membangun Jalan Anyer-Panarukan yang memakan banyak korban jiwa.
DAFTAR
PUSTAKA
Marwati Joened Poesponegoro.1984.Sejarah Nasional Indonesia jilid IV. Jakarta:Balai Pustaka, hal 3-4
Merle Calvin Ricklefs. 2008. Sejarah Indonesia Modern
1200-2008. Jakarta: Serambi.
Firdaus.18 Maret 2013.22:35.Masuknya Kolonialisme dan Imperialisme di Indonesia, kellyfajri.wordpress.com.
0 komentar:
Posting Komentar